Perjalanan ini panjang sekali.
Dan amat melelahkan.
Titik dimana ku mulai sudah tertinggal jauh.
Namun ujung satunya tak kunjung kulabuh.
Sampai-sampai, ku mulai sadar,
Inikah arah yang benar?
Sepenggal ingatan terlintas.
Ya ya. Mulai terlihat lebih jelas.
Kala itu, aku berjalan kaki.
Di kiriku tebing tinggi menerjal.
Di kananku lembah menukik curam.
Di depanku jalan berkelak-kelok, naik turun, sangat berliku.
Dan jalan ini luar biasa lebar.
Namun selayaknya milik bersama, ternyata tak bisa seenaknya.
Aku tak bisa jalan lurus di tengah, kalau tak ingin di gilas pengendara.
Bahkan untuk berjalan melompat-lompat di sisinya, sebagai sedikit rasa menikmati, aku ditegur, diteriaki, pernah juga disumpahi.
Bahaya dan bodoh, katanya.
Mengganggu pengendara, juga katanya.
Hei, dimana matamu! Bosan hidup lu! Ya, Itu juga katanya.
Jadi di sini tempatku sekarang.
Antara tepi jalan dan jurang.
Dengan debu pahit menerpa.
Dengan dingin kering yang jemu menyapa.
Tapi aku terus saja berjalan.
Pasrahkan hati untuk bertahan.
Entah ini mau disebut apa.
Keberkahankah, atau kepasrahan.
Adalah pemandangan sehari-hari,
untuk menyaksikan banyak kegelisahan dan kekecewaan.
Seperti penunggang motor itu,
Beradu sangat cepat.
Dengan yang menantang dan yang tertantang.
Hanya untuk terjatuh menggaruk aspal, bocor, patah dan akhirnya mati.
Atau seperti orang itu yang baru saja berlari melewatiku.
Dengan puluhan orang yang mengejar beringas sambil meneriaki koor: Copet! Copet! COPEET!
Penganiayaan sudah menantimu, batinku.
Dan hiruk pikuk ini.
Jalan ini kan lebar sekali. Lantas mengapa harus sesemrawut ini.
Ku sangka mereka orang-orang pintar dan terpelajar. Tetapi untuk jalani aturan saja tidak pernah bisa berjalan benar.
Atau bisa juga seperti anak kecil di depanku ini.
Umurnya masih lebih muda dibandingkan anakku.
Beberapa terbitan koran terkepit diketiaknya.
Tetapi Ya Tuhan. Mata lugunya memancarkan kegembiraan dan keyakinan. Demi prinsip klise yang langka dalam kenyataan, "lebih baik kerja halal daripada mengemis dan mencuri.”
Tiba-tiba dia menyentuh dan membuyarkan lamunanku. Lalu spontan berkata," om, kenapa om? Bengong nih. Gelisah ya, om? Belum dapat kerja ya, om?”
Lho, kok saya? saya tidak..., jawabku dalam diam.
DUUUKKKK! Suara itu menggema keras di kepalaku mengalahkan teriakan kesakitanku yang tertahan menyesakkan, sesaat sebelum pandanganku mengabur, hitam, dan semuanya terlihat gelap.
Pengendara yang menabrakku melarikan diri.
Kini,
aku berada di balik kemudi.
Sekarang, dan sampai saatnya nanti
Mengamati apa yang mataku lihat
Melakoni apa yang belum tentu seharusnya dibuat
Aku mulai merasa nyaman.
Kini aku tidak lagi kepanasan.
Apalagi harus kehujanan, sudah tidak masuk hitungan.
Aku sudah tidak terlalu memperhatikan, kalau jalan di depanku berkelak-kelok
dan berliku-liku.
Aku hanya senang karena jalan di depanku lebar.
Berkurang peduliku ketika ibu tua itu mengetuk kaca kemudiku.
Karena aku terlalu sibuk menghitung pendapatanku hari ini.
Bahkan saat ceroboh dan tanpa sadar menabrak orang yang sedang menyeberang, langsung kutancap gas menuju tempat ku bersenang-senang.
Tapi tunggu dulu,
Rasanya kukenal orang itu.
Serasa tidak asing. Sangat dekat. Seperti tehubung dengan nyawa.
Laksana ditegur nurani, kulaju mundur kemudiku.
Kuhela orang-orang berkerumun itu, pencopet itu, dan, gila, anak kecil penjual koran itu! Jadi orang yang kutabrak tadi...?
Diriku terbujur penuh luka.
Dalam koma Deja Vu yang tak juga terjaga,
Aku menyaksikan diriku berputar-putar.
Menjalani drama mimpi yang tak kunjung usai.
..........................................................
Posting Komentar